Kamis, 20 Mei 2010

Hubungan Soffskill dengan Gayus Tambunan

Hubungan softskill dengan Gayus Tambunan
Jika ditanya hubungan, jawabannya adalah pasti. Mengapa demikian? . Soft skill sendiri merupakan keahlian yang dimiliki seseorang dalam kehidupan sehari-hari terutama di bidangnya ataupun penunjangnya. Namun, seringkali keahlian yang dimilikinya disalahgunakan dengan sesuatu yang dapat merugikan orang lain. Nah, disinilah hubungan antara soft skill dan perilaku korupsi terbentuk.
Umumnya, orang melakukan korupsi ada 3 faktor yaitu : kebutuhan hidup, kesempatan, dan kemampuan. 3 hal tersebut adalah mesin gerak perilaku korupsi akan berjalan. Kebutuhan hidup yang semakin hari semakin menggunung tak pelak membuat otak manusia memutar otak untuk mencari solusi guna mencukupinya. Namun, pada tahap ini, perilaku korupsi kecil kemungkinan terjadi karena rakyat indonesia khususnya lebih memilih untuk berhutang kepada orang. Jika hutangpun tak bisa dilalui, maka jalan pintaspun terpaksa akan dilakukan seperti mencuri dan korupsi. Wajar, mengingat kapasitas yang akan merugi sedikit. Pada tahap kedua, yaitu kesempatan. Kapasitas yang akan merugipun akan semakin meningkat jika sesorang melakukan korupsi mempunyai kesempatan untuk melakukannya. kesempatan akan memudahkan pelaku korupsi melakukan aksinya lebih sering. Akibatnya, orang-orang yang merugi karena ulahnya semakin hari semakin besar dan meluas. Namun, dalam tahap ini, masih ada kelemahan, jika teknik korupsi yang dilakukan hanya mengandalkan kesempatan saja karena seiring waktu juga, orang akan merasa curiga dan mengetahuinya.
Pada hal ketiga, yaitu kemampuan. Mungkin, Gayus Tambunan sosok paling tersohor di media massa saat ini mempunyai 2 hal yang utama diatas, kesempatan dan kemampuan. Dengan kesempatan yang terbuka lebar, kemampuan Gayus yang katanya menyelewengkan pajak menyokong keberhasilannya dalam mengerok uang negara sebanyak-banyaknya. Jumlah yang dibawa pulangpun tak tanggung-tanggung, dan media-media dan Koran-koran menyebutkan sebesar 26 Milyar rupiah.Wao bayangkan, jika seorang Gayus pun bisa mengambil uang sebesar itu, berapa banyak uang negara yang akan terkuras jika banyak Gayus baru bermunculan.
Yang jelas korupsi adalah perbuatan yang tidak terpuji dan sangat bertolak belakang seseorang yang mempunyai softskill dengan seseorang yang melalukan tindakan korupsi. Seseorang yang mempunyai softskill pasti berpikir beribu-ribu kali untuk melakukan tindakan tidak terpuji itu.
Intinya, tulisan ini menginspirasikan kita untuk menggunakan soft skill yang kita miliki dengan sebaik-baiknya dalam hal positif. Seberat apapun kehidupan di dunia, semuanya hanya sementara. Yang seharusnya kita kejar adalah kehidupan akhirat yang kekal dan abadi.
Referensi:
WeLcome in my bLOg

Proposisi dalam Bahasa Indonesia

Proposisi dalam Bahasa Indonesia
Kalimat yang tidak dapat dijadikan proposisi yaitu:
1. Kata tanya
Contoh: Apa yang akan kamu lakukan.
2. Kalimat perintah
Contoh: Tolong keluar dari ruangan ini
3. Kalimat yang mengandung makna harapan
Contoh: Semoga hari ini turun hujan.
Kalimat proposisi dibagi menjadi 4 aspek, yaitu berdasarkan bentuk, sifat, kualitas, dan kuantitas.


1. Berdasarkan Bentuk

Ada 2 jenis proposisi berdasarkan bentuk, yaitu:
a. Proposisi tunggal, yaitu proposisi yang terdiri atas 1 subjek dan 1 predikat.
Contoh :
b. Proposisi majemuk, yaitu proposisi yang terdiri dari 2 predikat.
Contoh : Manusia yang hidup sehat harus rajin olahraga dan makan makanan yang bergizi.
2. Berdasarkan Sifat
Ada 2 jenis proposisi berdasarkan sifat, yaitu:
a. Proposisi Kategorial, adalah proposisi yang berhubungan antara subjek dan predikat tidak memerlukan syarat apapun.
b. Proposisi Conditional, adalah proposisi yang hubungan subjek dan predikat memerlukan syarat tertentu.
Contoh : Seandainya para pejabat di Negara ini jujur dan bertanggungjawab maka tidak akan ada korupsi.

Proposisi Conditional dibagi 2 :
1. Hipotesis, adalah proposisi yang memerlukan syarat.
2. Disjunctive, adalah proposisi yang mengandung 2 pilihan.
Contoh : Gusdur itu budayawan atau ulama.
3. Berdasarkan kualitas
Ada 2 jenis proposisi berdasarkan kualitas, yaitu:
a. Proposisi Afirmatif atau positif, adalah proposisi dimana ada kesesuaian antara subjek dan predikat.
Contoh : Semua dosen adalah orang pandai.
b. Proposisi Negatif, adalah tidak ada kesesuaian antara subjek dan predikat.
Contoh : Semua badak adalah gajah.
4. Berdasarkan Kuantitas
Ada 2 jenis proposisi berdasarkan kuantitas, yaitu:
a. Umum atau universal
contoh : Semua makhluk hidup pasti akan mati.
b. Khusus atau spesifik
contoh : Sebagian binatang yang hidup di daratan dapat terbang.

Referensi:
fauziqbal

Kamis, 06 Mei 2010

SEJARAH Pantun Sunda

SEJARAH Pantun Sunda
Pantun Sunda pengertiannya berbeda dengan pantun Melayu. Pantun Melayu semakna dengan "sisindiran" Sunda, yaitu puisi yang terdiri atas dua bagian; sampiran dan isi. Sedangkan pantun Sunda adalah seni pertunjukan. Pantun adalah cerita tutur dalam bentuk sastra Sunda lama yang disajikan secara paparan (prolog), dialog, dan seringkali dinyanyikan. Seni Pantun itu dilakukan oleh seorang juru pantun (tukang pantun) sambil diiringi alat musik kecapi yang dimainkannya sendiri.
Sejarah
Seni pantun merupakan seni yang sudah cukup tua usianya. Disebutkan dalam naskah Siksa Kanda ng Karesyan, yang ditulis pada tahun 1518 Masehi, bahwa pantun telah digunakan sejak zaman Langgalarang, Banyakcatra, dan Siliwangi. Ceritanya pun berkisar tentang cerita-cerita Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi dan lain-lain yang disajikan oleh prepantun (tukang pantun). Pantun terdapat pula pada naskah kuno yang dituturkan oleh Ki Buyut Rambeng, yakni Pantun Bogor. Dalam perkembangannya, cerita-cerita pantun yang dianggap bernilai tinggi itu terus bertambah, seperti cerita Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Mundinglaya Dikusumah, Dengdeng pati Jayaperang, Ratu Bungsu Kamajaya, Sumur Bandung, Demung Kalagan dll. Masyarakat Kanekes yang hidup dalam budaya Sunda Kuna sangat akrab dengan seni Pantun. Seni ini melekat sebagai bagian dari ritual mereka. Adapun lakon-lakon suci Pantun Kanekes yang disajikan secara ritual seperti Langgasari Kolot, Langgasari Ngora dan Lutung Kasarung.
Seni Pantun yang cukup tua usianya melahirkan beberapa tukang pantun pada setiap zamannya. Di Cianjur misalnya, dikenal nama R. Aria Cikondang (abad ke-17), Aong Jaya Lahiman dan Jayawireja (abad ke-19). Di Bandung terkenal Uce, juru pantun kabupaten Bandung (awal abad ke-20) dan Pantun Beton "Wikatmana" (pertengahan abad ke-20); dan di Bogor terkenal juru pantun Ki Buyut Rombeng.
Alat musik yang dipakai mengiringi seni pantun adalah kacapi. Pada mulanya kacapi tersebut sangat sederhana seperti yang terdapat di Baduy, yaitu kacapi kecil berdawai 7 dari kawat. Selanjutnya, sejalan dengan tumbuhnya seni Cianjuran, kacapi tersebut diganti dengan kacapi gelung (tembang), dan akhirnya menggunakan kacapi siter (Jawa). Adapun tangga nada (laras) yang digunakan dalam iringan kacapi tersebut adalah pelog, namun selanjutnya banyak yang menggunakan laras salendro.
Referensi :
Wikipedia bahasa Indonesia
ensiklopedia bebas

Ketegangan yang Berbuah Tawa

Ketegangan yang Berbuah Tawa
“Yai, orang mati pas ditanya malaikat itu kita bisa ndengerin tidak?”, tanya santri.
“Ya nggak bisa, kan dikubur”, jawab Kyai sambil lalu.
“Kan kita bisa nempelin telinga di tanah atau dipasangi mic. Bisa dengar gedobrakan siksa kalau nggak bisa njawab”.
“Nggak. Alamnya beda. Mereka di akhirat”
“Berarti akhirat itu sudah ada?”
“Hm”
“Neraka juga sudah ada?”
“Hh”
“Kan belum kiamat?”
“Biar”
“Kosong pa isi?”
“Isi”
“Isinya siapa?”
“Hh”
“Siapa e?”
“Isinya ya orang-orang kayak kamu itu, yang kalau tanya nggak mutu!”
***
Dialog di atas tidak pernah terjadi di pesantren. Di dunia pesantren Kyai adalah sosok sentral kharismatik, bijak, berilmu, dan sangat dihormati. Sementara santri adalah murid yang terhadap kyainya bukan hanya berkedudukan sebagai pencari ilmu tetapi juga sebagai pengharap berkah.
Santri – kata Dawam Rahardjo dalam bukunya Pesantren dan Pembaharuan– adalah siswa yang tinggal di pesantren guna menyerahkan diri untuk memperoleh kerelaan dari kyainya. Gus Dur mengatakan kerelaan inilah yang dimaksud dengan barakah, berkah. Di hati santri kyai hadir sebagai sosok agung, beraura suci, teduh, wibawa, dan sekaligus nyaris tak tersentuh.
Dengan definisi ini berarti status santri adalah medium untuk menciptakan ketundukan pada tata nilai dalam pesantren kepada kyai yang merupakan hirarki kekuasaan tertinggi. Inilah tawadu-positioning yang tidak mudah dijelaskan dan akibatnya sering disalahpahami orang sebagai kultus. Posisi diametral kyai-santri ini lalu memunculkan tensionalitas (ketegangan), keengganan, dan bahkan ‘keterhimpitan’, yang tentu saja dialog seperti di atas jelas tidak memiliki ruang di dalamnya.
Namun Tuhan tidak membiarkan umatnya tidak nyaman di situasi yang sebenarnya baik-baik saja itu. Diberinya imajinasi. Satu anugerah dan bekal yang memungkinkan orang survive ketika terdesak, kreatif ketika terhimpit, dan mengubah ketegangan relasi kyai-santri seperti di atas menjadi kerenyahan, sekalipun sebatas realitas virtual. Dan apa yang bisa dibayangkan jika ternyata benar-benar terjadi dalam keseharian pesantren? Tentu kelucuan yang mengundang tawa.
“Kita tertawa”, kata filsuf Jerman Schopenhaeur, “bila secara tiba-tiba kita menyadari ketidaksesuaian antara konsep dengan realitas yang sebenarnya”. Menurut Teori Bisosiasi yang dirumuskan Arthur Koestler tapi berasal dari filsuf-filsuf besar seperti Blaice Pascal, Immanuel Kant, Herbert Spencer, dan Schopenhaeur ini, humor timbul karena orang menemukan hal-hal yang tidak diduga, atau kalimat, juga kata, yang menimbulkan dua macam asosiasi. Yang pertama disebut belokan mendadak (unexpected turn), dan yang kedua asosiasi ganda (puns).
Beberapa humor pesantren juga bisa dijelaskan dengan Teori Pelepasan Inhibisi. Istilah inhibisi sendiri dari Sigmund Freud. Kita, kata Freud, banyak menekan ke alam bawah sadar kita pengalaman tidak enak atau keinginan yang tidak bisa kita wujudkan (yang secara sosial tidak bisa diterima, menurut istilah psikologi). Dorongan yang kita tekan ke bawah sadar itu lalu bergabung dengan kesenangan bermain dari masa kanak-kanak kita. Bila dorongan ini kita lepaskan dalam bentuk yang bisa diterima, kita melepaskan inhibisi. Kita merasa senang karena lepas dari sesuatu yang menghimpit kita. Kita melepaskan diri dari ketegangan. Suasana kaku, kikuk, tegang antara kyai-santri dilepas dan berubah akrab bahkan lucu. Bersama Freud, yang juga menganut teori ini adalah filsuf Charles Bernard Renouvier, Auguste Penjon, dan John Dewey.
Teori lainya adalah Superioritas. Menurut Plato orang tertawa bila menyaksikan sesuatu yang janggal. Orang juga geli melihat orang lain keliru, atau cacat, kata Aristoteles. Sebagai subyek, kita tertawa karena merasa punya kelebihan (superioritas), sedang obyek tertawa kita sifatnya rendah ‘menggelikan’. “Ketika tertawa”, kata Henry Bergson, “kita ternyata diam-diam bermaksud merendahkan”.
Teori ini menjelaskan tradisi guyon gasakan antar santri yang terkadang sangat ‘kejam’ karena boleh memperolok cacat atau kekurangan apapun lawannya. Seolah dilombakan seperti debat terbuka, guyon begini ditonton oleh banyak santri, dan baru berhenti setelah ada yang kalah, yaitu yang marah atau jengkel lantaran tidak tahan diolok. Konon ini salah satu latihan alami sebelum terjun ke masyarakat.
***
Menurut Darminto Sudarmo, Redaktur Majalah HUMOR, humor terjadi karena dua sebab: pertama, tak sengaja: kedua, disengaja. Humor tak sengaja berkait semua kejadian faktual lucu yang berkaitan dengan tokoh atau peristiwa. Humor sengaja, sebaliknya adalah hasil kreasi manusia. Bisa digolongkan sebagai buah karsa, karya dan cipta umat manusia.
Pertama, guyon parikena. Isi leluconnya bersifat nakal, agak menyindir. Tapi tidak tajam-tajam amat. Bahkan cenderung sopan. Dilakukan oleh bawahan kepada atasan atau orang yang lebih tua atau yang lebih dihormati. Atau kepada pihak lain yang belum akrab benar. Santri melakukan ini kepada santri lain, santri baru, paling banter pada kakak santri yang jadi pengurus. Tidak pernah pada guru apalagi Kyai.
Kedua, satire dan sinisme. Sama-sama menyindir atau mengkritik tapi muatan ejekannya lebih dominan. Bila tak pandai-pandai memainkannya, jurus ini bisa sangat membebani dan sangat tidak mengenakkan. Kecenderungannya memandang rendah pihak lain. Lelucon ini lebih banyak digunakan pada situasi konfrontatif. Targetnya, membuat lawan atau pihak lain, mati kutu. Bahkan, cemar! Ini khusus antar santri. Tidak ada yang berani mencoba ke Kyai.
Ketiga, pelesetan. Orang Barat menyebutnya imitation and parody. Di Indonesia, seringkali juga disebut parodi. Isinya memelesetkan segala sesuatu yang telah mapan atau populer. Ia menjadi semacam alat eskapisme dari kesumpekan keadaan. Terobosannya lewat pintu tak terduga dan ini cukup mengundang surprise. Istilah seperti ‘ulil albab’ diartikan ahli lobi, ‘ahli hisab’ jadi perokok, dan sebagainya.
Keempat, slapstick. Orang terjengkang. Kepala dipukul pakai tongkat. Pendek kata bernuansa fisik. Lelucon ini cukup efektif untuk memancing tawa. Beberapa film kartun untuk konsumsi anak-anak juga banyak menampilkan lelucon model ini. Guru ngaji galak biasa jadi bahan lelucon ini.
Kelima, olah logika. Lelucon bergaya analisis. Sering disinggung oleh Arthur Koestler dalam teori bisosiatifnya. Lelucon ini banyak digemari oleh masyarakat tertentu, terutama dari kalangan terdidik.
“Kita harus mewaspadai bahaya provokasi dan provokator!” teriak santri dalam sebuah latihan pidato. “Apa bedanya?” Tanya Kyai. “Provokasi itu tingkat propinsi, Yai. Kalau provokator itu tingkat pusat.”
Keenam, superioritas-interioritas. Lelucon yang muncul karena melihat cacat, kesalahan, kebodohan, pihak lain.
Perhatikan dialog dua orang tuli berikut.
“Darimana, Kang? Dari mancing ya?”
“Nggak. Dari mancing kok”
“Oalah, saya kira dari mancing”
Ketujuh, kelam. Sering juga disebut black humor atau sick joke. Isinya soal malapetaka. Kengerian. Lelucon tentang orang yang dipenggal kepalanya, bunuh diri, pemerkosaan dan sejenisnya. Pendek kata berisi tentang segala sadisme dan kebrutalan.
Kedelapan, seks. Bukan seks dalam arti gender atau jenis kelamin, tetapi seks yang mengandung makna menjurus ke porno-pornoan. Atau bahkan, full porno. Karena sifatnya yang ringan tak perlu mikir lelucon ini efektif mengundang tawa.
Kesembilan, apologisme. Ini bukan untuk melucu, tetapi justru untuk berlindung di balik lelucon. Semacam senjata. Upaya pembenaran yang tergolong “pengecut” karena ketidakberdayaan mempertanggungjawabkan lontaran, pernyataan atau perbuatannya yang ternyata tak memiliki dasar/argumen. Untuk menetralisasikan, karena biasanya enggan mengakui kesalahan, lalu berkilah, “Ah, hanya guyon kok.”
***
Humor adalah energi budaya yang kandungan pengertiannya amat rumit. Humor yang muncul karena persinggungan budaya, bahasa, bahkan simbol-simbol religi; humor karena kenaifan atau kejujuran karena salah perhitungan dan lain-lain, adalah fakta yang membuktikan bahwa efek kelucuan bisa dicapai dengan banyak sekali jurus. Tidak peduli itu terjadi di kantor, sawah, rumah, pasar, bahkan pesantren dan seminari.

Referensi :
Farid Mustofa
Rejodani

Sejarah "singkat" Film Pendek

Sejarah "singkat" Film Pendek



Film pendek… seperti yang kita tahu ini adalah salah satu bentuk film paling simple tapi juga paling kompleks. Film pendek pada awal berkembangnya sempat dipopulerkan oleh komedian macam Charlie Chaplin.
Pada tahun 30an, film pendek sempat mengalami kisruh. Perusahaan film besar yang memproduksi film pendek memanfaatkannya untuk tujuan komersil. Perusahaan film yang memiliki jaringan bioskop sendiri seringkali menjual film pendek ini pada bioskop-bioskop lain dan film tersebut dijual dalam satu paket yang mengharuskan bioskop-bioskop tersebut juga menayangkan feature yang mengkomersilkan nama perusahaan tersebut. Pada akhirnya kualitas film pendek pun jadi merosot.
Praktek ini disebut block booking dan pada akhirnya dinyatakan illegal oleh US Supreme Court. Dengan dikeluarkannya kebijakan tersebut, film pendek kembali populer. Sejak saat itu, film pendek adalah sepenuhnya lahan milik para sineas independent. Produsen film besar juga masih memproduksi film pendek, namun hanya untuk special project dan bukan untuk tujuan komersil.
Pada tahun 50an, film pendek mulai merasuki pertelevisian. Bentuk film pendek yang populer ditayangkan di televisi waktu itu (bahkan sampai sekarang) adalah kartun yang menampilkan karakter unik. Pada akhir 60an, film pendek di layar lebar dinyatakan menghilang dari layar lebar.
Pada tahun 1980, definisi durasi dari film pendek berubah menjadi 40-80 menit. Mendekati film durasi normal. Yang tetap membedakan film pendek adalah topiknya yang rumit. Kini banyak dbuat festival sebagai ajang ekspresi para pembuat film pendek. Bersamaan dengan menjamurnya festival film pendek, popularitas film pendek juga meroket dan menuai antusiasme para sineas amatir.
Biaya rendah yang dibutuhkan untuk membuat film pendek adalah alasan utama untuk memilih bentuk film ini sebagai pembelajaran bagi pemula, namun bukan berarti semua film pendek adalah kacangan dan tidak berkualitas. [rad]
Referensi :
www.google.com

Seluk Beluk Drama di Indonesia

Seluk Beluk Drama di Indonesia
Istilah drama dan teater seyogianya dibedakan artinya. Drama dimaksudkan sebagai karya sastra yang dirancang untuk dipentaskan di panggung oleh para aktor di pentas, sedangkan teater adalah istilah lain untuk drama dalam pengertian yang lebih luas, termasuk pentas, penonton, dan tempat lakon itu dipentaskan. Di samping itu salah satu unsur penting dalam drama adalah gerak dan dialog. Lewat dialoglah, konflik, emosi, pemikiran dan karakter hidup dan kehidupan manusia terhidang di panggung. Dengan demikian hakikat drama sebenarnya adalah gambaran konflik kehidupan manusia di panggung lewat gerak.
Drama Remaja
Apabila dilakukan dengan benar, pembelajaran sastra memiliki empat manfaat bagi para siswa, yaitu: membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak. Oleh karena drama, termasuk satu di antara tiga jenis pokok karya sastra, maka mempelajari drama pun dapat membantu para siswa terampil berbahasa, meningkatkan pengetahuan budayanya, mengembangkan cipta dan karsa, serta dapat menunjang pembentukan watak para siswa.Dalam memilih bahan pembelajaran drama yang akan disajikan perlu dipertimbangkan dari sudut bahasa, kematangan jiwa (psikologi), dan latar belakang kebudayaan para siswa, di samping itu perlu pula diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesukaran dan kriteria-kriteria tertentu lainnya, seperti: berapa banyak teks drama yang tersedia di perpustakaan sekolahnya, kurikulum yang harus diikuti, dan persyaratan bahan yang harus diberikan agar dapat menempuh tes hasil belajar akhir tahun.
Pembelajaran Drama
Ada banyak strategi apresiasi drama sebagai karya sastra. Strategi Strata menggunakan tiga tahapan, yaitu: tahap penjelajahan, tahap interpretasi, dan tahap re-kreasi. Tahap penjelajahan dimaksudkan sebagai tahapan di mana guru memberikan rangsangan kepada para siswa agar mau membaca teks drama dan memahaminya. Tahap interpretasi adalah tahapan mendiskusikan hasil bacaan dengan mendiskusikannya dalam kelompok dengan panduan pertanyaan dari guru. Tahap re-kreasi adalah tahapan sejauh mana para siswa memahami teks drama sehingga mereka dapat mengkreasikan kembali hasil pemahamannya.Strategi Analisis terhadap teks drama dilakukan dalam tiga tahapan. Tahapan pertama membaca dan mengemukakan kesan awal terhadap bacaannya. Tahap kedua menganalisis unsur pembangun teks drama. Dan tahap ketiga adalah tahap memberikan pendapat akhir yang merupakan perpaduan antara respons subjektif dengan analisis objektif.Tujuan penting pembelajaran drama adalah memahami bagaimana tokoh-tokoh dalam drama dipentaskan. Dalam pementasan diperlukan pemahaman perbedaan bentuk dan gaya teks drama, serta berbagai macam aturan dalam bermain drama. Cara yang ditempuh, pertama melakukan pembacaan teks drama, berlatih gerak dalam membawakan peran, dan berlatih gerak sambil mengucapkan kata-kata.
Asal-usul Drama di Indonesia
Seperti yang berkembang di dunia pada umumnya, di Indonesia pun awalnya ada dua jenis teater, yaitu teater klasik yang lahir dan berkembang dengan ketat di lingkungan istana, dan teater rakyat. Jenis teater klasik lebih terbatas, dan berawal dari teater boneka dan wayang orang. Teater boneka sudah dikenal sejak zaman prasejarah Indonesia (400 Masehi), sedangkan teater rakyat tak dikenal kapan munculnya. Teater klasik sarat dengan aturan-aturan baku, membutuhkan persiapan dan latihan suntuk, membutuhkan referensi pengetahuan, dan nilai artistik sebagai ukuran utamanya.
Teater rakyat lahir dari spontanitas kehidupan masyarakat pedesaan, jauh lebih longgar aturannya dan cukup banyak jenisnya. Teater rakyat diawali dengan teater tutur. Pertunjukannya berbentuk cerita yang dibacakan, dinyanyikan dengan tabuhan sederhana, dan dipertunjukkan di tempat yang sederhana pula. Teater tutur berkembang menjadi teater rakyat dan terdapat di seluruh Indonesia sejak Aceh sampai Irian. Meskipun jenis teater rakyat cukup banyak, umumnya cara pementasannya sama. Sederhana, perlengkapannya disesuaikan dengan tempat bermainnya, terjadi kontak antara pemain dan penonton, serta diawali dengan tabuhan dan tarian sederhana. Dalam pementasannya diselingi dagelan secara spontan yang berisi kritikan dan sindiran. Waktu pementasannya tergantung respons penonton, bisa empat jam atau sampai semalam suntuk
Perkembangan Drama di Indonesia
Sejarah perkembangan drama di Indonesia dipilah menjadi sejarah perkembangan penulisan drama dan sejarah perkembangan teater di Indonesia. Sejarah perkembangan penulisan drama meliputi:
(1) Periode Drama Melayu-Rendah
(2) Periode Drama Pujangga Baru,
(3) Periode Drama Zaman Jepang,
(4) Periode Drama Sesudah Kemerdekaan, dan
(5) Periode Drama Mutakhir.
Dalam Periode Melayu-Rendah penulis lakonnya didominasi oleh pengarang drama Belanda peranakan dan Tionghoa peranakan. Dalam Periode Drama Pujangga Baru lahirlah Bebasari karya Roestam Effendi sebagai lakon simbolis yang pertama kali ditulis oleh pengarang Indonesia. Dalam Periode Drama Zaman Jepang setiap pementasan drama harus disertai naskah lengkap untuk disensor terlebih dulu sebelum dipentaskan. Dengan adanya sensor ini, di satu pihak dapat menghambat kreativitas, tetapi di pihak lain justru memacu munculnya naskah drama. Pada Periode Drama Sesudah Kemerdekaan naskah-naskah drama yang dihasilkan sudah lebih baik dengan menggunakan bahasa Indonesia yang sudah meninggalkan gaya Pujangga Baru. Pada saat itu penulis drama yang produktif dan berkualitas baik adalah Utuy Tatang Sontani, Motinggo Boesye dan Rendra. Pada Periode Mutakhir peran TIM dan DKJ menjadi sangat menonjol. Terjadi pembaruan dalam struktur drama. Pada umumnya tidak memiliki cerita, antiplot, nonlinear, tokoh-tokohnya tidak jelas identitasnya, dan bersifat nontematis. Penulis-penulis dramanya yang terkenal antara lain Rendra, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, dan Riantiarno.

Perkembangan teater di Indonesia dibagi ke dalam: (1) Masa Perintisan Teater Modern, (2) Masa Kebangkitan Teater Modern, (3) Masa Perkembangan Teater Modern, dan (4) Masa Teater Mutakhir. Masa perintisan diawali dengan munculnya Komedi Stamboel. Masa kebangkitan muncul teater Dardanella yang terpengaruh oleh Barat. Masa perkembangan ditengarai dengan hadirnya Sandiwara Maya, dan setelah kemerdekaan ditandai dengan lahirnya ATNI dan ASDRAFI. Dalam masa perkembangan teater mutakhir ditandai dengan berkiprahnya 8 nama besar teater yang mendominasi zaman emas pertama dan kedua, yaitu Bengkel Teater, Teater Kecil, Teater Populer, Studi klub Teater Bandung, Teater Mandiri, Teater Koma, Teater Saja, dan Teater Lembaga.


Referensi :
Buku Drama Karya B. Rahmanto
Pakde sofa