Kamis, 06 Mei 2010

Ketegangan yang Berbuah Tawa

Ketegangan yang Berbuah Tawa
“Yai, orang mati pas ditanya malaikat itu kita bisa ndengerin tidak?”, tanya santri.
“Ya nggak bisa, kan dikubur”, jawab Kyai sambil lalu.
“Kan kita bisa nempelin telinga di tanah atau dipasangi mic. Bisa dengar gedobrakan siksa kalau nggak bisa njawab”.
“Nggak. Alamnya beda. Mereka di akhirat”
“Berarti akhirat itu sudah ada?”
“Hm”
“Neraka juga sudah ada?”
“Hh”
“Kan belum kiamat?”
“Biar”
“Kosong pa isi?”
“Isi”
“Isinya siapa?”
“Hh”
“Siapa e?”
“Isinya ya orang-orang kayak kamu itu, yang kalau tanya nggak mutu!”
***
Dialog di atas tidak pernah terjadi di pesantren. Di dunia pesantren Kyai adalah sosok sentral kharismatik, bijak, berilmu, dan sangat dihormati. Sementara santri adalah murid yang terhadap kyainya bukan hanya berkedudukan sebagai pencari ilmu tetapi juga sebagai pengharap berkah.
Santri – kata Dawam Rahardjo dalam bukunya Pesantren dan Pembaharuan– adalah siswa yang tinggal di pesantren guna menyerahkan diri untuk memperoleh kerelaan dari kyainya. Gus Dur mengatakan kerelaan inilah yang dimaksud dengan barakah, berkah. Di hati santri kyai hadir sebagai sosok agung, beraura suci, teduh, wibawa, dan sekaligus nyaris tak tersentuh.
Dengan definisi ini berarti status santri adalah medium untuk menciptakan ketundukan pada tata nilai dalam pesantren kepada kyai yang merupakan hirarki kekuasaan tertinggi. Inilah tawadu-positioning yang tidak mudah dijelaskan dan akibatnya sering disalahpahami orang sebagai kultus. Posisi diametral kyai-santri ini lalu memunculkan tensionalitas (ketegangan), keengganan, dan bahkan ‘keterhimpitan’, yang tentu saja dialog seperti di atas jelas tidak memiliki ruang di dalamnya.
Namun Tuhan tidak membiarkan umatnya tidak nyaman di situasi yang sebenarnya baik-baik saja itu. Diberinya imajinasi. Satu anugerah dan bekal yang memungkinkan orang survive ketika terdesak, kreatif ketika terhimpit, dan mengubah ketegangan relasi kyai-santri seperti di atas menjadi kerenyahan, sekalipun sebatas realitas virtual. Dan apa yang bisa dibayangkan jika ternyata benar-benar terjadi dalam keseharian pesantren? Tentu kelucuan yang mengundang tawa.
“Kita tertawa”, kata filsuf Jerman Schopenhaeur, “bila secara tiba-tiba kita menyadari ketidaksesuaian antara konsep dengan realitas yang sebenarnya”. Menurut Teori Bisosiasi yang dirumuskan Arthur Koestler tapi berasal dari filsuf-filsuf besar seperti Blaice Pascal, Immanuel Kant, Herbert Spencer, dan Schopenhaeur ini, humor timbul karena orang menemukan hal-hal yang tidak diduga, atau kalimat, juga kata, yang menimbulkan dua macam asosiasi. Yang pertama disebut belokan mendadak (unexpected turn), dan yang kedua asosiasi ganda (puns).
Beberapa humor pesantren juga bisa dijelaskan dengan Teori Pelepasan Inhibisi. Istilah inhibisi sendiri dari Sigmund Freud. Kita, kata Freud, banyak menekan ke alam bawah sadar kita pengalaman tidak enak atau keinginan yang tidak bisa kita wujudkan (yang secara sosial tidak bisa diterima, menurut istilah psikologi). Dorongan yang kita tekan ke bawah sadar itu lalu bergabung dengan kesenangan bermain dari masa kanak-kanak kita. Bila dorongan ini kita lepaskan dalam bentuk yang bisa diterima, kita melepaskan inhibisi. Kita merasa senang karena lepas dari sesuatu yang menghimpit kita. Kita melepaskan diri dari ketegangan. Suasana kaku, kikuk, tegang antara kyai-santri dilepas dan berubah akrab bahkan lucu. Bersama Freud, yang juga menganut teori ini adalah filsuf Charles Bernard Renouvier, Auguste Penjon, dan John Dewey.
Teori lainya adalah Superioritas. Menurut Plato orang tertawa bila menyaksikan sesuatu yang janggal. Orang juga geli melihat orang lain keliru, atau cacat, kata Aristoteles. Sebagai subyek, kita tertawa karena merasa punya kelebihan (superioritas), sedang obyek tertawa kita sifatnya rendah ‘menggelikan’. “Ketika tertawa”, kata Henry Bergson, “kita ternyata diam-diam bermaksud merendahkan”.
Teori ini menjelaskan tradisi guyon gasakan antar santri yang terkadang sangat ‘kejam’ karena boleh memperolok cacat atau kekurangan apapun lawannya. Seolah dilombakan seperti debat terbuka, guyon begini ditonton oleh banyak santri, dan baru berhenti setelah ada yang kalah, yaitu yang marah atau jengkel lantaran tidak tahan diolok. Konon ini salah satu latihan alami sebelum terjun ke masyarakat.
***
Menurut Darminto Sudarmo, Redaktur Majalah HUMOR, humor terjadi karena dua sebab: pertama, tak sengaja: kedua, disengaja. Humor tak sengaja berkait semua kejadian faktual lucu yang berkaitan dengan tokoh atau peristiwa. Humor sengaja, sebaliknya adalah hasil kreasi manusia. Bisa digolongkan sebagai buah karsa, karya dan cipta umat manusia.
Pertama, guyon parikena. Isi leluconnya bersifat nakal, agak menyindir. Tapi tidak tajam-tajam amat. Bahkan cenderung sopan. Dilakukan oleh bawahan kepada atasan atau orang yang lebih tua atau yang lebih dihormati. Atau kepada pihak lain yang belum akrab benar. Santri melakukan ini kepada santri lain, santri baru, paling banter pada kakak santri yang jadi pengurus. Tidak pernah pada guru apalagi Kyai.
Kedua, satire dan sinisme. Sama-sama menyindir atau mengkritik tapi muatan ejekannya lebih dominan. Bila tak pandai-pandai memainkannya, jurus ini bisa sangat membebani dan sangat tidak mengenakkan. Kecenderungannya memandang rendah pihak lain. Lelucon ini lebih banyak digunakan pada situasi konfrontatif. Targetnya, membuat lawan atau pihak lain, mati kutu. Bahkan, cemar! Ini khusus antar santri. Tidak ada yang berani mencoba ke Kyai.
Ketiga, pelesetan. Orang Barat menyebutnya imitation and parody. Di Indonesia, seringkali juga disebut parodi. Isinya memelesetkan segala sesuatu yang telah mapan atau populer. Ia menjadi semacam alat eskapisme dari kesumpekan keadaan. Terobosannya lewat pintu tak terduga dan ini cukup mengundang surprise. Istilah seperti ‘ulil albab’ diartikan ahli lobi, ‘ahli hisab’ jadi perokok, dan sebagainya.
Keempat, slapstick. Orang terjengkang. Kepala dipukul pakai tongkat. Pendek kata bernuansa fisik. Lelucon ini cukup efektif untuk memancing tawa. Beberapa film kartun untuk konsumsi anak-anak juga banyak menampilkan lelucon model ini. Guru ngaji galak biasa jadi bahan lelucon ini.
Kelima, olah logika. Lelucon bergaya analisis. Sering disinggung oleh Arthur Koestler dalam teori bisosiatifnya. Lelucon ini banyak digemari oleh masyarakat tertentu, terutama dari kalangan terdidik.
“Kita harus mewaspadai bahaya provokasi dan provokator!” teriak santri dalam sebuah latihan pidato. “Apa bedanya?” Tanya Kyai. “Provokasi itu tingkat propinsi, Yai. Kalau provokator itu tingkat pusat.”
Keenam, superioritas-interioritas. Lelucon yang muncul karena melihat cacat, kesalahan, kebodohan, pihak lain.
Perhatikan dialog dua orang tuli berikut.
“Darimana, Kang? Dari mancing ya?”
“Nggak. Dari mancing kok”
“Oalah, saya kira dari mancing”
Ketujuh, kelam. Sering juga disebut black humor atau sick joke. Isinya soal malapetaka. Kengerian. Lelucon tentang orang yang dipenggal kepalanya, bunuh diri, pemerkosaan dan sejenisnya. Pendek kata berisi tentang segala sadisme dan kebrutalan.
Kedelapan, seks. Bukan seks dalam arti gender atau jenis kelamin, tetapi seks yang mengandung makna menjurus ke porno-pornoan. Atau bahkan, full porno. Karena sifatnya yang ringan tak perlu mikir lelucon ini efektif mengundang tawa.
Kesembilan, apologisme. Ini bukan untuk melucu, tetapi justru untuk berlindung di balik lelucon. Semacam senjata. Upaya pembenaran yang tergolong “pengecut” karena ketidakberdayaan mempertanggungjawabkan lontaran, pernyataan atau perbuatannya yang ternyata tak memiliki dasar/argumen. Untuk menetralisasikan, karena biasanya enggan mengakui kesalahan, lalu berkilah, “Ah, hanya guyon kok.”
***
Humor adalah energi budaya yang kandungan pengertiannya amat rumit. Humor yang muncul karena persinggungan budaya, bahasa, bahkan simbol-simbol religi; humor karena kenaifan atau kejujuran karena salah perhitungan dan lain-lain, adalah fakta yang membuktikan bahwa efek kelucuan bisa dicapai dengan banyak sekali jurus. Tidak peduli itu terjadi di kantor, sawah, rumah, pasar, bahkan pesantren dan seminari.

Referensi :
Farid Mustofa
Rejodani

Tidak ada komentar: