Rabu, 10 Maret 2010

Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar

PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA YANG BAIK DAN BENAR
Indonesia terdiri dari berbagai kepulauan, sehingga tak heran bila bangsa Indonesia memiliki beragam suku bangsa dan bahasa daerah.
Namun agar setiap individu dapat mengerti atau berkomunikasi dengan baik dan jelas, maka disepakati satu bahasa persatuan yakni “ Bahasa Indonesia”. Yang berbasis Melayu.
Bahasa adalah alt komunikasi untuk melakukan interaksi sosial individu yang satu dengan yang lainnya.
Salah satu fungsi media (pers) adalah mendidik masyarakat (to educate) masyarakat agar melakukan sesuatu, bertindak benar, mematuhi aturan, bersikap baik, dan sebagainya. “Pers adalah guru bagi masyarakat,” kata Wilbur Schramm (1973), selain sebagai pengamat (watcher) dan forum dikusi (forum). Karenanya, insan pers harus benar-benar menguasai bahasa Indonesia yang baik dan benar.
MEDIA Internet atau Media Online adalah media yang dipublikasikan di internet dan merupakan produk jurnalistik online. Jurnalistik online –disebut juga cyber journalisme– didefinisikan sebagai “pelaporan fakta atau peristiwa yang diproduksi dan didistribusikan melalui internet” (wikipedia).
Hampir semua media konvensional, seperti surat kabar dan majalah, bahkan media televisi dan radio, juga menerbitkan “edisi online” sebagai “outlet sekunder” (secondary outlet). Perkembangan media online kian pesat dengan adanya fasilitas blog atau weblog, baik sebagai “online diary” (buku harian online) maupun sebagai medium ekspresi.
Sebagai media massa, media internet (harus) menggunakan kaidah-kaidah jurnalistik dalam sistem kerja mereka, termasuk dalam penggunaan bahasa jurnalistik dan kaidah bahasa Indonesia.
Tidak ada perbedaan antara bahasa jurnalistik cetak dan jurnalistik internet karena sama-sama “komunikasi tulisan” atau “bahasa tulis”.
Dengan demikian, karakteristik dan prinsip penulisan bahasa jurnalistik cetak (suratkabar, majalah, buletin, dan lain-lain), antara lain hemat kata, ringkas, padat, jelas, logis, kalimatnya pendek-pendek, sederhana dan mudah dipahami, juga berlaku di media internet. Perbedaannya hanyalah soal tampilan atau mediumnya. Jurnalistik atau media internet bersifat virtual sedangkan sajian jurnalistik/media cetak itu tercetak (printed media).


Tata Bahasa: Kesalahan Penulisan
Dalam hal penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, media internet bisa dikatakan paling banyak melakukan pelanggaran. Hal itu utamanya dikarenakan penulisan berita di media internet dilakukan tergesa-gesa agar segera online (kejar tayang), apalagi jika wartawan yang menulisnya kurang atau tidak menguasai tata bahasa dengan baik dan benar.
Salah satu kesalahan penulisan yang banyak terjadi yaitu penulisan kata penghubung “dan”, yakni menulis kata “dan” di awal kalimat. Penulisan demikian jelas salah atau menyalahi kaidah tata bahasa. Pasalnya, kata penghubung harus digunakan untuk menghubungkan dua hal atau kalimat, bukan untuk mengawali sebuah kalimat.
Kesalahan penulisan itu terjadi, utamanya di kalangan wartawan/media, kemungkinan karena salah satu dari dua hal ini: kemalasan atau kebodohan. Sang wartawan malas mengecek ejaan atau penulisan yang baik dan benar sesuai dengan kaidah ahasa; atau memang ia (maaf) bodoh, tidak well educated, sehingga menulis semaunya. Kalau karena malas, tidak bisa dimaafkan. Jika karena bodoh, dapat dimaafkan, karena bisa diatasi dengan belajar atau diajari.
Sama halnya dengan wartawan/media yang masih saja menggunakan “kata-kata mubazir” dan “kata-kata jenuh” dalam penulisan berita, seperti penggunaan kata “sementara itu”, “dalam rangka”, “perlu diketahui”, “seperti kita ketahui”, “dapat ditambahkan”, “selanjutnya”, dan sebagainya. Hal itu karena dua hal tadi, malas atau bodoh.
Bukan hanya itu, kesalahan penulisan “dan” juga sering terjadi dalam cara penulisan “dan” ketika menghubungkan lebih dari dua hal/benda, misalnya: “di kamar itu ada kursi, meja dan tempat tidur” (tanpa koma). Mestinya, menurut Ejaan Yang Disempuranakan (EYD), harus menggunakan koma sebelum kata “dan”: “di kamar itu ada kursi, meja, dan tempat tidur”.
Ada juga kesalahan penulisan “sehingga” di awal kalimat. Contoh: “…melakukan aksi perlawanan. Sehingga, polisi menggunakan….”. Mestinya, “…melakukan perlawanan sehingga polisi menggunakan…”; atau “…melakukan perlawanan. Akibatnya, polisi menggunakan….”.
Pedoman penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar membahas juga soal kata-kata penghubung lain yang harus dihindari. Untuk menghubungkan dua klausa tidak sederajat, bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk “di mana” (padanan dalam bahasa Inggris adalah “who”, “whom”, “which”, atau “where”) atau variasinya (”dalam mana”, dengan mana”, “hal mana”, “dalam pada itu”, “yang mana” dan sebagainya).

Wartawan kita juga sering membuat judul dengan awal angka/bilangan. Misalnya, “12 Orang Tewas Tertimbun Longsor”. Mestinya, “Dua Belas Orang Tewas…” atau “Belasan Orang Tewas Tertimbun Longsor”. Lambang bilangan pada awal kalimat harus ditulis degan huruf. Jika perlu, susunan kalimat diubah sehingga bilangan yang tidak dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata tidak terdapat lagi pada awal kalimat. Misalnya, “Longsor Tewaskan 12 Orang”.
Guru Bahasa
Masih banyak kesalahan penulisan lainnya di media internet juga di media cetak. Artinya, kesadaran menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar masih belum “membudaya” di kalangan media/wartawan. Padahal, disadari atau tidak, media atau wartawan adalah “guru bahasa” bagi publik, bahkan lebih berpengaruh ketimbang guru bahsa di sekolah-sekolah atau kampus-kampus.
Bahasa di media menjadi rujukan (referensi) sekaligus “panutan” bagi masyarakat pembaca. Kata, istilah, dan kalimat dan tata cara penulisannya di media akan menjadi perhatian, bahkan menjadi trend-setter dalam hal penggunaan bahasa Indonesia. Penulisan kata, kalimat, ungkapan, atau istilah yang muncul di media akan dianggap benar oleh publik.
Contoh paling menonjol dalam hal akronim. Masyarakat tidak menemukan, misalnya, istilah “minah” dalam kamus bahasa Indonesia. Mereka menemukannya dalam pemberitaan media. “Minah” adalah singkatan dari “minyak tanah” demi efisiensi atau penghematan kata (economy of word). Demikan halnya “tilang” (bukti pelanggaran), “curas” (pencurian disertai kekerasan), “curanmor” (pencurin kendaraan bermotor), dan banyak lagi.
Kemampuan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar merupakan syrat penting bagi kita, khusunya bagi generasi muda untuk mewujudkan sebuah bangsa yang besar dan kokoh.
Menyadari betapa pentingnya kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, kita hendaknya memacu diridan berupaya mempelajarinya secara sungguh-sungguh.
Seringkali kita mendengar perbincangan orang dewasa ataupun remaja dengan menggunakan bahasa tampak terdengar janggal walaupun dapat dipahami oleh orang yang mendengarnya. Dikatakan janggal karena bahasa yang digunakan bercampur dengan bahasa daerah, atau bahasa yang tidak baku
.Bebahasa Indonesia dengan baik dan benar dapat mengangkat citra dan martabat bangsa dan juga menjadi bukti kecintaan terhadap bangsa dan tanah air tercinta.
Agar dapat menggunakan bahasa Indonesia secara baik, kita perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Isi atau makna, yaitu yang berhubungan dengan pikiran, gagasan atau perasaan yang disampaikan.
2. Keadaan pemakaian bahasa, yaitu yang berhubungan dengan suasana, tempat, atau waktu bahasa.
3. Khalayak/sasaran, yaitu yang bekenaan dengan usia, kelamin, pendidikan, pekerjaan dan kedudukan.
4. Sarana saluran yang digunakan, umpamanya melalui telepon, radio, televisi, percakapan bersemiuka, atau karangam
5. Cara berhubungan langsung atau tidak langsung, misalnya melalui forum rapat,televisi, radio dan surat.


Referensi;
http://kedaisinau.multiply.com/jurnal/
Romeltea

1 komentar:

ikioke mengatakan...

Kesalahan yang juga sering mereka buat adalah penggunaan kata "di" yang tidak pada tempatnya. Kata "di" seharusnya digabungkan dengan kata kerja berikutnya, namun mereka justru memisahkannya. Contoh, rumah di kontrakkan, yang seharusnya "rumah dikontrakkan", obat harus di minum (harusnya diminum), dan sebagainya.
Penggunaan kata "di" seharusnya dipisah sebelum keterangan tempat, justru digabungkan. Contoh, silahkan cek disini, harusnya "silahkan di sini", didalam (harusnya di dalam) dan sebagainya.